SEJARAH DESA LONG NYAU
Penamaan
desa oleh Orang Punan biasanya mengikuti nama aliran sungai yang mereka diami.
Seperti halnya Long Nyau yaitu kelompok masyarakat yang bermukim di sekitar
Sungai Nyau . Namun tidak selalu masyarakat di Desa Long Nyau bermukim di area
Sungai Nyau. Pada awalnya Long Nyau terdiri dari sebuah kelompok Punan Tubu
yang tinggal di dearah Mabau, dalam sejarah Desa Long Nyau mereka dikenal
sebagi orang-orang Long Mabau. Pada abad ke-18 terjadi pernikahan antara
seorang laki-laki Punan Malinau dengan anggota dari Long Mabau. Pernikahan ini
menyebabkan adanya terbaginya orang-orang Long Mabau menjadi dua, kelompok baru
yang menetap di daerah Upa’ disebut dengan Long Upa’ dan Long Mabau yang
memilih untuk menetap di dearah Mabau. Long Upa dan Long Mabau menjadi tulang
belakang dari apa yang kini dikenal dengan Long Nyau.
Perubahan
dari kehidupan nomaden menjadi sedenter memerlukan waktu yang lama sampai
terbentuk desa yang kita kenal sekarang. Sejarah awal kehidupan sedenter muncul
ketika pada masa pendudukan Jepang dari 1942-1945 masyarakat Long Upa dan Long
Mabau dipaksa untuk menetap, namun tidak sepenuhnya perubahaan ini
terimplementasikan. Kedua masyarakat tersebut masih melanjutkan kehidupan
nomadennya. Peralihan dari kehidupan nomaden menjadi sedenter baru terlihat
pada 1970-an pada periode awal kemerdakaan.
Pada
masa pemerintahan Presiden Soekarno, kedua kelompok ini diminta untuk menetap
oleh pemerintah. Seruan menetap diterima cukup baik oleh masyarakat Long Upa,
namun Long Mabau tidak menghiraukan seruan tersebut dan tetap melakukan muvut.
Namun kegiatan nomaden Long Mabau tidak berlangsung lama, seruan menetap oleh
pemerintah juga disertakan oleh sebuah sumpah yang berbunyi “Jika orang-orang
Mabau masih berpindah-pindah maka mereka akan mati” masyarakat Long Mabau pada
saat itu tetap melakukan muvut dan sesuai sumpah dari pemerintah malapetaka
menyusul orang-orang Long Mabau. Masyarakat Long Mabau yang bernomaden satu
persatu meninggal dikarenakan penyakit. Mereka terus berpindah dari satu tempat
ke tempat lainnya dengan harapan dapat menghindar dari penyakit dan malpetaka.
Hingga anggota Long Mabau terlalu sedikit untuk melanjutkan kehidupan nomaden
mereka. Anggota yang tersisa bergabung dengan Long Upa dan akhirnya menetap di
Sungai Nyau, melahirkan nama desa yang kini dikenal dengan desa Long Nyau.
Saat
ini masyarakat Long Nyau tidak lagi tinggal di sekitar Sungai Nyau namun
bergeser ke Hulu Sungai Tubu di sekitar sungai Tepuh. Perpindahan tersebut
bermula ketika 11 desa lainnya yang berada di Sungai Tubu pindah ke Malinau
melalui program Respen (resettlement penduduk) dan melebur menjadi satu desa
yaitu Desa Respen Tubu. Selain 11 desa yang pindah ke Malinau tersebut masih
terdapat 5 desa lainnya yang memilih bertahan di tanah leluhurnya di hulu
Sungai Tubu yaitu Desa Long Nyau, Long Ranau, Long Pada, Rian Tubu, dan Long
Titi.
Masyarakat
Long Nyau sendiri memilih untuk bertahan karena percaya bahwa Malinau pasti
akan maju serta berkembang, dan pembangunan tersebut lambat laun akan menyentuh
desa-desa yang berada di hulu, sehingga hanya perlu menunggu waktu tanpa perlu
pindah ke tanah orang lain. Keyakinan tersebut mereka pegang teguh tanpa
memperdulikan iming-iming akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik di
kota.
Pada
masa pemindahan 11 desa ke Malinau, 5 desa yang bertahan juga memiliki
pemikiran untuk bergabung di satu lokasi yang sama. Keinginan tersebut didukung
penuh oleh LAB-PKM (Lembaga Adat Besar Punan Kabupaten Malinau), sayangnya Long
Titi dan Rian Tubu tidak ingin ikut bergabung dan memilih untuk menetap di
desanya. Desa yang sepakat untuk bergabung diantaranya Long Pada, Long Ranau,
dan Long Nyau. Lokasi yang saat itu disepakati untuk bermukim bersama ialah
Long Tepuh, yaitu sebuah dataran luas di dalam wilayah Desa Long Nyau.
Sayangnya,
kesepakatan tiga desa tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat,
terdata saat itu sebagian masyarakat Long Pada dan Long Ranau masih bertahan di
desanya masing-masing karena enggan bergabung di Long Tepuh dan ingin
mempertahankan tanah desanya. Sementara itu, Masyarakat Long Nyau seluruhnya
pindah ke Long Tepuh karena 2 alasan, yang pertama karena Long Tepuh masih
merupakan wilayah desa Long Nyau dan yang kedua karena pemukiman Long Nyau di
muara Sungai Nyau sering terendam oleh banjir dari Sungai Tubu yang meluap.
Dasar
pemikiran untuk meleburkan 3 desa yang berada di Sungai Tubu ke satu lokasi
yang sama ialah karena para pemimpin desa menganggap akses dari Kota menuju
lokasi pemukiman mereka tidaklah mudah. Sehingga mereka perlu mempermudah
jangkauan pemerintah dengan cara bergabung pada satu lokasi yang mudah untuk
diakses. Alasan lainnya, terdapat isu bahwa Sungai Tubu akan dimekarkan menjadi
Kecamatan sendiri, yaitu Kecamatan Sungai Tubu. Pemilihan Long Tepuh sebagai
tempat untuk bermukim tidak terlepas dari morfologi lahan yang cenderung datar,
imajinasi masyarakat saat itu jika mereka telah bermukim di satu tempat dan
telah menjadi satu kecamatan maka akan mudah untuk membangun landasan pesawat
terbang, bahkan masyarakat telah menyurvei 2 lokasi calon landasan yang
memungkinkan di sekitar Long Tepuh. Setelah Long Pada dan Long Ranau kembali ke
kampungnya, Desa Long Nyau memutuskan untuk tetap di Long Tepuh karena seluruh
masyarakatnya telah membuat rumah di sana. Beberapa diantara mereka telah
membuat rumah permanen dengan lembar-lembar papan dan atap seng bahkan terdapat
pula masyarakat yang membongkar dan membawa bahan bangunannya dari Long Nyau ke
Long Tepuh.
Setelah
masuknya program GERDEMA (Gerakan Desa Membangun) kemudian status Sungai tubu
menjadi kecamatan perwakilan/pembantu, namun ibu kotanya tidak di Long Tepuh
melainkan Long Pada. Program GERDEMA yang mengalokasikan APBD untuk pembangunan
desa merupakan alasan utama Long Pada dan Long Ranau kembali ke kampungnya.
Mereka beranggapan bahwa setelah adanya anggaran GERDEMA di tiap desa maka akan
lebih baik jika membangun desa masing-masing.